Senin, 20 Januari 2014


Oleh: Fuad Asnawi Dalhar - Guru SIR Riyadh

Menarik mengulas apa yang dikatakan Attali dalam bukunya “Millenium: Winner and Losses in the Coming World Order”. Attali mengatakan ketika manusia memasuki era milenium ketiga, mereka akan tersegmentasi menjadi dua kelompok besar, yakni kelompok pemenang (the winner), dan kelompok pecundang (the losser). Kelompok pemenang adalah mereka yang terdidik, memiliki kemampuan ekonomi yang kuat, dan menguasai akses informasi, sebaliknya kelompok pecundang adalah mereka yang berpendidikan rendah, ekonomi lemah, akses informasi terbatas.

Dalam perspektif pembelajaran, kelompok pemenang adalah mereka yang selalu  menempatkan perbuatan belajar dalam totalitas skema kehidupannya, artinya perbuatan belajar mereka bukan hanya terbatas saat sekolah, apalagi hanya belajar menjelang ujian, ulangan semesteran, ataupun ujian akhir, namun mereka yang mampu menempatkan pembelajaran dalam aspek kehidupannya (Danim, 2003: 28-31).

Pembentukan masyarakat pembelajar dalam makna luas tidak bisa dilaksanakan secara instan. Melainkan melalui proses evolusi kesadaran pengembangan kapasitas manusia dan keberhasilannya membutuhkan pengembangan lebih lanjut atas kesadaran kita untuk menangkap masalah dan potensi dalam dunia yang terglobalisasi dan kompleks dewasa ini. Untuk itu, dibutuhkan lingkungan yang kondusif dalam arti tidak hanya sekedar terciptanya lingkungan eksternal siswa, melainkan yang lebih utama adalah terbangunnya tradisi masyarakat umum, keluarga, masyarakat pada jaring-jaring kemasyarakatan, lembaga publik, serta  siswa  sendiri dapat melaksanakan pembelajaran.

Sekolah dan stakeholdernya, mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, karyawan,  komite sekolah, dan masyarakat peduli pendidikan dituntut untuk dapat: menciptakan dan membangun hal yang sinergi agar siswa dapat mewujudkan dirinya sebagai manusia pembelajar, berkewajiban memberikan dorongan, peluang, dan harapan kepada siswa agar dapat mengaktualisasikan segenap potensi dan bakat-bakat terbaik yang dimilikinya, dan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik.

Peranan guru diperlukan dalam menemukan, membangkitkan, dan mengarahkan skema siswanya dalam menerima pengalaman pembelajaran. Istilah skema merujuk pada apa yang disebut Anderson dan Pearson sebagai tatanan aktif yang terdiri dari reaksi masa silam atau pengalaman masa lampau (Anderson & Pearson lewat Hamied, 1995: 86-87). Dengan demikian, pengalaman masa lampau siswa dapat diarahkan guna menginterpretasi informasi yang diterimanya. Konfigurasi pada pandangan, persepsi, pikiran dan emosi siswa yang tidak cocok dapat diarahkan guna menopang pengalaman belajar siswa.

Pemanfaaatan skema siswa dapat dilakukan dengan memotivasi siswa dengan kreativitasnya, dari siswa yang enggan belajar menjadi siswa yang mau untuk belajar sesuai dengan kompetensinya. Skema siswa dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan optimisme siswa dan memupuk visi ke depan. Sejalan dengan hal tersebut Danim (2003:6) menyatakan, pilar-pilar terbentuknya masyarakat pembelajar ditandai dengan rasa ingin tahu, optimisme, keikhlasan, konsistensi, dan pandangan visioner.

Untuk merealisasikan masyarakat pembelajar konteks ini, sesungguhnya Rasulullah SAW. telah “wanti-wanti”, berpesan yang artinya: “Dunia itu terlaknat, terlaknat apa yang didalamnya kecuali dzikir kepada Allah, apa yang Allah cintai, orang alim (berilmu), dan pembelajar”. Melaksanakan sistem pembelajaran seumur hidup atau “long life education“. Sebuah pandangan jauh ke depan melebihi batas-batas pemikiran orang kebanyakan. Visi ini menjadikan manusia pembelajar jarang sekali tergoda untuk melakukan apa saja demi hasil yang instan, mengejar target jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang.

Sebuah tantangan bagi manusia pembelajar, mampukah kita mewujudkan pandangan visioner yang luar biasa ini???.

*Tulisan ini dimuat di Majalah Pendidikan PENA edisi 28 (Oktober-Desember 2013)

0 komentar:

Posting Komentar