Senin, 20 Januari 2014



Oleh: Zubair, S.Pd., MA
“Dan katakanlah: bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu,
begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin
 dan kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui perkara ghaib dan nyata,
lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
(QS. At-taubah: 105)
Syahdan, dalam sebuah pelatihan in-learning service yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Prov. Sulawesi Selatan pada tahun 2010, ada dua buah kalimat yang sering diulang-ulang oleh para fasilitator; pertama, “Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru”. Kedua, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Kedua kalimat tersebut memberi makna bahwa guru adalah sosok yang dicontoh dan diteladani. Keteladanan yang dilakukan oleh para guru (role model) adalah proses yang paling berpengaruh dalam pendidikan, sebagaimana pernyataan Prof. Suyanto, Ph.D seorang pakar pendidikan Indonesia.[1]

Guru yang menjadi contoh dan teladan di mata siswa diibaratkan sebagai sosok “orang suci” yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata dan tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Apapun yang diajarkan oleh seorang guru dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Petuahnya bagaikan mantra yang wajib diamalkan oleh setiap siswa. Bahkan, kedudukan guru bisa sederajat dengan kedudukan orang tua mereka.

Jek Priyanto, siswa Kelas X, Jurusan Multi Media mengatakan, “Menurut saya guru yang ideal adalah guru yang berpengetahuan luas, konsen dalam belajar, mengerti kelebihan dan kekurangan siswa didiknya, disiplin dalam berbagai hal. Tidak seperti guru kebanyakan yang hanya bisa disiplin ketika dia mengajar. Ada pula guru yang saat mengajar hanya menyetorkan mukanya saja tanpa memperdulikan siswanya mengerti atau tidak terhadap materi yang disampaikan. Pada intinya, guru hendaknya disiplin.Sebab, kedisiplinan yang diajarkan guru menjadikan kehidupan seseorang bisa hidup dengan tenang dan dapat meraih impiannya. Satu lagi, jika profesi guru dijalankan dengan benar dan ideal, maka guru tersebut tidak memandang siswa-siswi didiknya baik pintar maupun bodoh, kaya maupun miskin. Guru dituntut tetap mengajar dengan sepenuh hati tanpa memandang perbedaan yang ada, apalagi membedakan status perekonomian siswa didiknya. Jika ada guru yang seperti itu (guru yang ideal menurut saya) saya anggap dia bukan guru, tapi pendidik, atau mungkin menurut saya malaikat pendidik”.

Sampel komentar siswa di atas memberikan gambaran bahwa menjadi sosok guru ideal yang dapat dicontoh dan diteladani merupakan hal berat bagi para guru. Namun bukan berarti mustahil, asalkan para guru mau berubah dan berusaha. Usaha tersebut berupa kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas secara terpadu. Ya, karena objek yang dihadapi adalah siswa dengan multikarakter dan kepribadian. Dalam sekian ratus siswa maka berarti guru menghadapi sekian ratus karakter dan kepribadian. Karenanya seorang guru ideal tidak akan menyerah dengan keberagaman siswanya, pantang untuk menyerah dalam mendidik dan mengajar. Sikap pantang menyerah ini merupakan aktualisasi dari kerja keras seorang guru. Namun kerja tersebut tidak hanya berhenti sampai di titik ini saja, akan tetapi seorang guru harus mampu mensinergikan semua potensi yang ada pada siswa dan alam sekitarnya.
Untuk mencapai hal tersebut, seorang guru membutuhkan usaha dalam menyelaraskan segala potensi yang dimiliki, antara lain: kemajemukan siswa, materi pembelajaran, alat peraga, metodologi pembelajaran, sarana dan prasarana pendidikan, sumber belajar, serta beberapa penunjang pembelajaran hingga menghasilkan kerja yang maksimal. Hasil kerja maksimal yang dicapai merupakan bagian dari proses kerja cerdas seorang guru dalam mengamati, membuat asumsi, melakukan hipotesis, melaksanakan eksperimen, menganalisis proses, sampai pada sebuah kesimpulan yang menjadi  solusi dalam proses pembelajaran.

Kolaborasi (perpaduan) dan konektivitas (kerjasama) antara hard skill (usaha, tenaga/kerja keras) dengan metodologi berfikir (soft skill/kerja cerdas) ini akan menghasilkan kerja-kerja innovatif, up to date, dan bermutu. Adapun kerja ikhlas adalahback up dari semua kerja-kerja yang dilakukan. Ia adalah “jiwa” penggerak yang tak pernah padam, sebab dengan keikhlasan semua hal dapat dilakukan, baik diterima oleh nalar sehat ataupun tidak. Bekerja ikhlas merupakan tatanan tertinggi dalam hidup, dimana kita mencurahkan tenaga dan pikiran bukan semata-mata memikirkan hasil dan target jangka pendek. Dengan kata lain,guru bekerja bukan hanya untuk mengejar kepentingan dunia, tetapi juga untuk kepentingan akhirat. Buah dari kerja keras guru tersebut selain menghasilkan kesuksesan bersama antara siswa dan guru, juga akan menghasilkan kesuksesan mulia yang akan diperoleh kelak dikehidupan akhirat.
Untuk menopang kerja-kerja di atas maka seorang guru dalam melakukan proses belajar mengajar hendaknya memperhatikan tiga pondasi penting. Pertama: cinta, pembelajaran dengan cinta akan meninggalkan bekas yang sulit dilupakan oleh para siswa, ibarat seorang ibu yang menimang dan menyusui anaknya dan seorang bapak yang mengajari anaknya untuk bisa survive dalam segala hal. Terkadang sekedar usapan di kepala menjadi motivasi besar buat si anak, atau terkadang lantaran sebuah rangkulan mereka merasakan ketenangan. Pembelajaran dengan cinta akan membuahkan rasa empati dan simpati siswa kepada guru. Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW., ”Tidak akan dicintai orang yang tidak mencintai”.

Kedua: kepercayaan (kredibilitas)adalah buah dari cinta, para siswa tidak akan pernah ragu pada capability guru jika mereka telah mencintainya, dan akan terjadi sebaliknya jika mereka tidak mencintai gurunya. Ketiga: kewibawaan adalah hasil perpaduan antaracinta dan kepercayaan. Seorang guru yang berwibawa bisa menjadi “magnet sekaligus magic” bagi siswa. Karena besarnya pengaruh kewibawaan ini, seorang guru akan menjadi idola para siswa, sehingga kedatangannya adalah sesuatu yang sangat menggembirakan dan senantiasa dinanti olehnya. Ia akan merasa bersedih jika sehari saja tak berjumpa dengan guru idolanya.

Sebelum menutup tulisan ini, sebuah pertanyaan untuk semua guru, sudahkah kita melakukan ini semua? Sudahkah kita menjadi guru idola yang dinanti kedatangannya oleh siswa kita? Jika jawabannya belum, maka kita masih harus berusaha lebih maksimal, hingga kita menjadi bagian dari guru yang selalu dirindukan para siswa dan menjadi orang yang beruntung dalam kehidupan di akhirat dengan aliran pahala yang tak bertepi, karena amalan jariyah kita, ilmu yang bermanfaat. Semoga, amin.

*Tulisan ini dimuat di Majalah Pendidikan PENA edisi 28 (Oktober-Desember 2013)

0 komentar:

Posting Komentar